Jangan Asal Pake’ Script…
M. Zein Hidayat CHt
M. Zein Hidayat CHt
Cerita ini bermula dari sebuah diskusi, ketika ada yang mengoleksi banyak script afirmasi untuk berbagai permasalahan dan penyakit. Mulai dari script afirmasi menurunkan berat badan, percaya diri, meningkatkan ingatan dan konsentrasi, dan lain sebagainya...
Disatu sisi kita mendapatkan hal yang positif, karena bagi pembelajar atau praktisi hypnosis / hypnotherapy pemula mendapat referensi dari orang yang telah melakukannya. Karena kita juga harus paham, bahwa hypnosis bermain pada wilayah yang sangat vital bagi manusia, yaitu pikiran khususnya sub conscious yang nota bene 88% mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Sehingga, salah kata dalam afirmasi dapat memiliki dampak yang cukup berarti dalam sikap dan perilakunya.
Namun permasalahannya adalah ketika seorang therapist, menjadikan script adalah “primbon” yang bersifat mekanis dan tinggal dibacakan saja scriptnya sesuai dengan kasusnya. Misal kasus A, maka dibacakan script B, kasus C dibacakan script D, dan selanjutnya…
Padahal kita harus paham bahwa script adalah referensi kita, dan yang harus kita pahami adalah kunci – kunci / poin – poin penting dalam script afirmasi tersebut. Sebagai contoh, dalam script hypnoslimming, poin – poin pentingnya adalah membangun pola hidup yang sehat, pola makan, pola OR, pola tidur yang sehat, disamping orientasi tidak hanya sekedar menjadi kurus, tetapi dengan kurus klien menjadi percaya diri, menarik, sehat dan bugar dan sukses dalam segala hal, dan lain sebagainya...
Permasalahan lain, ketika seorang therapist kurang mengedepankan proses pre induksi / asessement ketika seorang klien datang. Bahkan asal ikut dari “ungkapan” keinginan klien, padahal bisa jadi bukan hal tersebut yang dibutuhkan klien. Ketika ada seorang klien, tiba – tiba datang dan mengatakan “saya ingin PD”, “saya butuh motivasi”, “saya ingin kurus”, atau bahkanseorang klien yang memiliki keinginan “borongan”, “saya ingin PD, punya ingatan yang kuat, sukses dalam segala hal, mudah bergaul, bedan ideal sehingga menarik dll. Kalau klien “borongan” tersebut kita ikuti saja dengan script, bisa jadi 10 lembar script harus kita bacakan pada klien…
Dengan interview dalam pre induksi, seorang therapist dapat memahami kebutuhan sebenarnya seorang klien, bahkan memiliki arah terhadap akar permasalahan klien. Karena kita juga harus paham, bahwa tiap permasalahan memiliki penyebab dan akar masalah yang berbeda – beda. Ada seorang anak yang ingin meningkatkan motivasi belajarnya, mungkin pada salah satu kasus kita dapat membangkitkannya dengan membangun minat pada pelajaran dan gurunya. Namun, pada lain kasus mungkin kita mendapati faktor lain sehingga anak malas belajar. Sebagai contoh lingkungan dan orang tua yang kurang mendukung, atau bahkan ada suatu kasus anak indigo yang melihat “setan – setan” di sekitar sekolahnya menyuruhnya untuk tidak belajar. Dengan proses asessment dalam pre induksi kita dapat memahami permasalahan klien.
Disamping kita juga harus paham, bahwa proses pre induksi bertujuan untuk membangun hubungan / raport. Sehingga seorang therapist memiliki kedekatan dengan klien dan terbangun kepercayaan terhadap therapist. Bahkan jika saya bisa mengatakan, 80% keberhasilan terapi letaknya di bagian interview awal. Anda berhasil di interview awal / pre induksi maka akan lebih mudah Anda melakukan proses terapi dan keberhasilan menjadi lebih tinggi.
Bagaimana cara kita memahami permasalahan klien kita ? Biasanya saya mengacu pada pertanyaan – pertanyaan dibawah ini :
Who
Siapa klien kita ¿ Seorang therapist harus memahami siapa klien kita, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan bagaimana seorang therapist menghadapi klien tersebut. Therapist harus paham, bagaimana latar belakang klien, apa pekerjaannya, hobinya, tempat kesukaannya, pendidikannya maupun aktifitas hariannya. Dengan kita memahami klien, seorang therapist menjadi mudah dalam proses membangun hubungan / raport. Dan kita ketahui dari awal, bahwa raport dalam pre induksi menjadi faktor penentu keberhasilan proses hypnotherapy.
What
Apa masalahnya ¿ Seringkali saya berpijak pada hal yang lebih riil... apa itu ¿ Perilaku nyata...Kalau dalam penelitian sering kita dengar, indikator perilaku. Ketika seorang klien mengatakan tidak PD, kita mungkin perlu tanya seperti apa tidak PDnya, bagaimana bentuk ketidak PD-annya, pada saat apa, ketika dimana, berlaku terus atau hanya 1 kasus yang digeneralisir...Begitu pula orang yang ingin berhenti merokok, kita harus tahu, biasanya merokok berapa bungkus tiap hari, merokok pada saat apa saja dan lain sebagainya. Dengan kita menjawab pertanyaan tersebut lebih detail, seorang therapist menjadi lebih tahu intensitas masalahnya, dinamika permasalahannya, dan lebih terbantu untuk melihat akar permasalahan klien.
Where
Pertanyaan dimensi tempat, bisa jadi menjadi sumber data yang penting. Ketika ada seorang anak yang dianggap ibunya pemalu, tidak PD / ”minderan”, seorang therapist harus bisa memahami dimana anak tersebut pemalu ? Apakah dimana saja dia pendiam dan pemalu ? Ataukah hanya di sekolah saja ? Tetapi di rumah dan lingkungan tetangga dia percaya diri ? Sehingga dengan menjawab dimensi waktu, seorang therapis bisa terbantu dari jebakan – jebakan ”label” yang diberikan pada klien.
When
Ini adalah pertanyaan yang berkaitan dengan dimensi waktu. Hal ini juga sangat penting untuk memahami dinamika permasalahan klien. Kapan permasalahan tersebut terjadi ? Pada saat apa, permasalahan tersebut muncul ? Sejak kapan ? Ketika ada seorang klien menganggap dirinya tidak PD, maka therapist harus bisa menggalinya. Kapan hal tersebut terjadi ? Mungkin dia menganggap tidak PD ketika klien berbicara di depan banyak orang. Bahkan sampai keringat dingin, gemetar di seluruh tubuh dan lain sebagainya. Mungkin kita juga mendapatkan informasi bahwa klien pertama kali mendapati kondisi tersebut ketika pertama kali ketika SMU kelas 1 diminta presentasi, tapi tidak siap dan akhirnya ditertawakan oleh semua warga kelas.
Selain itu, therapist juga dapat menggali lebih dalam permasalahan klien dengan mencari tahu apa yang terjadi ”Sebelum” – ”Pada Saat” – Sesudah”. Ketika terdapat klien yang memiliki permasalahan ”merasa tertekan dan ingin selalu menangis”. Kita bisa bertanya ”apa yang biasanya dilakukaan, dipikirkan dan dirasakan” sebelum muncul rasa tertekan dan ingin selalu menangis. Mungkin, ingat pada mantan pacarnya yang meninggal, atau mungkin ketika masuk di kamarnya dan denger musik tertentu atau warna cat tertentu atau yang lainnya. Karena kita harus paham, hal tersebut mungkin pencetus permasalahan tersebut muncul.
”Pada saat”, makhsudnya pertanyaan dengan dimensi waktu ”saat terjadinya masalah tersebut”. Artinya therapis harus dapat memahami apa yang terjadi ketika masalah tersebut muncul. Tidak PD, makhsudnya bagaimana ? Apa yang dilakukan klien ? Mungkin gemetar, keringat dingin, klien diam saja, gemetar dll. Apa yang dilakukan klien pada saat tersebut ? Apa yang dipikirkan dan Apa yang dirasakan pada saat itu ? Bagaimana dinamika lingkungan pada saat itu ?
”Sesudah” adalah pertanyaan berkaitan dengan dimensi waktu ”pasca masalah tersebut muncul”. Sebagai contoh, ketika seseorang yang memiliki kebiasaan merokok, mungkin therapist bisa menanyakan apa yang dirasakan ketika klien merokok ? Seorang anak yang memiliki kebiasaan mencuri (klepto), apa yang dirasakan, dipikirkan, atau dilakukan setelah anak tersebut mencuri ?
Why
Mengapa, adalah dimensi pertanyaan sebab, motivasi, untuk apa, alasan klien ketika perilaku klien terjadi. Seorang therapist tidak boleh menilai benar atau salah alasan seoran klien. Karena apapun alasan klien, justru itulah yang menjadi sumber informasi bagaimana seorang therapis dapat memahami sudut pandang, perasaan apa adanya seorang klien. Dengan keterbukaan klien, seorang therapist dapat lebih memahami dinamika permasalahan klien. Seringkali pikiran bawah sadar, berkorelasi dengan perasaan spontan dan murni dari klien, yang tidak diintervensi dengan pikiran rasional atau bahkan malu dengan therapist. Oleh karena itu, seorang therapis harus dapat memahami alasan ”murni dan spontan” dari seorang klien.
How
Nah...setelah memahami semua pertanyaan tersebut, seorang therapist baru dapat menentukan bagaimana menangani klien tersebut. Semakin banyak dan detil informasi yang didapat semakin membantu therapist untuk dapat menanganin klien dengan cara dan metode yang paling tepat dan sesuai dengan klien tersebut.
Saya kira tidak ada alasan untuk menafikkan proses pre induksi / interview awal. Apalagi ketika menganggap bahwa proses awal tersebut hanyalah basa basi belaka. Justru bisa jadi, pre induksi menjadi lebih lama dari pada proses therapy berlangsung. Karena kita juga harus pahami pre induksi adalah bagian dari pre induksi itu sendiri. Dan tidak sedikit, seorang klien dapat sembuh hanya karena di proses pre induksi saja...
”Awalan Adalah Penentu Dari Sebuah Keberhasilan..”.
(Mr. Zen)